UN dan Keberhasilan Pendidikan

23.3.10

Meski Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN), mulai hari Senin murid-murid Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas menjalani UN. Sikap pemerintah untuk tetap jalan dengan UN sungguh merupakan sebuah preseden buruk akan penghormatan kita terhadap sistem hukum dan pembangunan demokrasi yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi.

Padahal MA secara tegas menolak kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan dikeluarkan pada tanggal 25 November 2009 dan sebagai konsekuensinya pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010.

Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah. Pemerintah akan menghadapi persoalan berat apabila ada pihak yang menggugat kembali pemerintah karena dianggap melanggar sebuah keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

Kita memahami bahwa kita harus meningkatkan kualitas pendidikan bangsa ini untuk bisa menjadi pemenang di era globalisasi. Kita setuju bahwa untuk menjadi bangsa yang unggul dibutuhkan disiplin dan kerja keras. Namun semua itu harus dicapai melalui pembangunan kesadaran membangun manusia unggul, bukan dengan cara menakut-nakuti.

Pendidikan pada kita sekarang ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Pendidikan lebih menjadi sebuah beban, baik beban dalam pembiayaannya maupun menjalani proses belajarnya.

Dengan adanya UN, beban itu bahkan bukan hanya dirasakan oleh anak didik, tetapi juga orangtua dan guru. Kita bisa bayangkan, kualitas manusia Indonesia seperti apa yang kita akan dapatkan, apabila itu dihasilkan melalui proses yang penuh dengan ketakutan.

Padahal manusia yang unggul tidak hanya diukur dari kompetensi yang berkaitan dengan pendidikannya, tetapi juga ditentukan oleh karakter dan koneksi atau jaringan yang bisa dibangunnya. Manusia yang unggul akan tercermin dari kreativitas dan inovasi yang bisa dihasilkan. Semua itu akan bisa didapatkan apabila ada kegembiraan dan keriangan dalam mengerjakannya.

Kita kini kehilangan yang yang namanya kreativitas dan inovasi itu. Semua itu disebabkan karena semua dibuat serba kaku. Ukuran yang digunakan hanya gagal dan berhasil. Akibatnya semua hanya berupaya untuk tidak dikatakan gagal. Dan pendidikan telah berubah menjadi momok yang menakutkan.

Lihatlah bagaimana anak-anak didik di Majene, Sulawesi Selatan bersiap menghadapi UN. Mereka melakukan dzikir sambil berurai air mata karena takut tidak lulus dalam menjalani UN esok hari.

Para pejabat pendidikan kita akan dengan mudah mengatakan, biar saja dibuat takut agar mereka giat belajar dalam mempersiapkan diri. Bahkan sering kita dengar ucapan pejabat yang mengatakan, ketakutan hanya milik mereka yang malas dan tidak mau belajar. Biarkan anak didik merasakan sulitnya meraih keberhasilan, karena dalam kehidupannya kelak semua tidak pernah akan ada yang mudah untuk bisa diraih.

Akan tetapi apakah kita sadar bahwa dengan tingkat belajar dan mengajar yang tidak standar tidaklah mungkin kita menyamakan ukuran keberhasilan? Anak-anak di Majene pantas untuk takut ketika dituntut untuk bisa sama dengan anak-anak di Jakarta yang mendapat banyak keuntungan dalam menjalani proses belajar?

Tidakkah kita sadari bahwa pemaksaan yang kita lakukan hanya akan menghasilkan sesuatu yang semu? Proses belajar dan mengajar hanya sekadar mengacu kepada standar kelulusan yang kita inginkan, namun tidak pernah akan mampu memperluas daya nalar anak didik.

Kita harus kembali ke dasar pendidikan. Bahwa bakat setiap anak tidaklah sama. Ada yang berbakat menjadi seniman, ada yang berbakat menjadi atlet, ada yang berbakat menjadi peneliti, ada yang berbakat menjadi pengusaha, ada yang berbakat menjadi politisi atau diplomat.

Bangsa ini membutuhkan semua bakat-bakat itu. Tugas kita adalah mengasah bakat-bakat itu agar muncul menjadi sesuatu yang unggul. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang utuh dan mampu mengangkat nama baik bangsa dan negara. Semua bakat itu tidaklah bisa diperlakukan sama untuk bisa berkembang.

Keberhasilan kita untuk melahirkan bangsa yang unggul tidak ditentukan oleh pendidikan tinggi. Justru pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas yang lebih menentukan, bangsa seperti apa yang akan kita hasilkan kelak.

Oleh karena itu, kembalikanlah pendidikan menjadi sesuatu yang menyenangkan, bukan sesuatu yang menakutkan. Kita akan lebih banyak memetik manfaatnya apabila pendidikan bisa menghasilkan keberagaman, bukan penyeragaman.
(sumber: metronews.com)

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
 
Copyright © TARYADI RAHMAT